Hadis: Hukum Memberikan Zakat kepada Orang Kaya dan Orang yang Masih Mampu Bekerja
Teks hadis
Diriwayatkan dari sahabat ‘Ubaidillah bin ‘Adi bin Al-Khiyar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَخْبَرَنِي رَجُلَانِ أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ يُقَسِّمُ الصَّدَقَةَ فَسَأَلَاهُ مِنْهَا فَرَفَعَ فِينَا الْبَصَرَ وَخَفَضَهُ فَرَآنَا جَلْدَيْنِ فَقَالَ إِنَّ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ
“Ada dua orang yang mengabarkan kepadaku bahwa mereka berdua telah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu haji wada’, sementara beliau sedang membagikan zakat. Mereka berdua meminta kepada beliau sebagian dari zakat tersebut. Lalu beliau mengangkat pandangannya kepada kami, kemudian menundukkannya, dan beliau melihat kami adalah orang yang kuat. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Kalau kalian berdua menginginkannya, maka kami akan memberikan kepada kalian berdua. Dan tidak ada bagian dalam zakat tersebut bagi orang yang kaya dan orang yang mampu untuk bekerja.’” (HR. Ahmad, 38: 162, Abu Dawud no. 1633, An-Nasa’i, 5: 99-100, sanadnya sahih)
Kandungan hadis
Kandungan pertama, hadis ini adalah dalil bahwa orang yang kaya itu tidak berhak menerima zakat. Jika orang kaya diberikan zakat, maka hal itu sama saja mencegah dan menghalangi orang lain yang berhak (misalnya, orang fakir miskin) dari menerima pembagian zakat. Demikian pula, hal itu sama dengan menihilkan hikmah disyariatkannya kewajiban zakat, yaitu untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir miskin.
Akan tetapi, “kaya” adalah suatu istilah yang tidak memiliki definisi baku, karena berbeda-beda sesuai dengan keadaan zaman dan tempat (wilayah atau daerah tertentu). “Kaya” tidak bisa didefinisikan dengan orang yang memiliki harta dengan jumlah tertentu. Hal ini tidak sebagaimana pendapat sebagian ulama yang memberi batasan dengan orang yang memiliki harta sejumlah lima puluh dirham. (Lihat Ma’alim As-Sunan, 2: 226)
“Kaya” bisa diartikan sebagai seseorang yang mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungan nafkahnya. Baik karena dia memiliki tabungan, atau memiliki pekerjaan (profesi) tertentu, atau karena aktivitas perdagangan, atau semacam itu sehingga dia mampu mencukupi kebutuhannya. Inilah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, dan Ibnu Hazm rahimahumullah. (Lihat Fiqhuz Zakat, 2: 554)
Jika seseorang tidak memiliki harta dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka dia termasuk dalam fakir atau miskin yang berhak menerima zakat.
Kandungan kedua, hadis ini juga dalil bahwa orang yang secara fisik masih mampu bekerja, juga tidak berhak menerima zakat. Hal ini karena dia termasuk “kaya” dengan pekerjaan yang bisa dilakukannya. Namun, apabila ada penghalang sehingga dia tidak bisa bekerja, misalnya sakit kronis (menahun), atau tidak ada lapangan pekerjaan, atau sebab-sebab lainnya, maka dia bisa diberi harta zakat untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhannya. Demikian pula, apabila dia sudah bekerja, namun penghasilannya tidak mampu untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka dia pun boleh diberikan harta zakat.
Kandungan ketiga, hadis ini dalil bahwa siapa saja yang zahirnya menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang berhak menerima zakat, misalnya karena tampilan fisiknya, maka dia diberi nasihat dan dijelaskan bahwa dia tidak boleh mengambil atau meminta pembagian harta zakat.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berulang kali melihat kondisi dan keadaan dua orang tersebut. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menilai bahwa kedua orang tersebut secara fisik masih kuat dan mampu untuk bekerja. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
إِنَّ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا
“Kalau kalian berdua menginginkannya, maka kami akan memberikan kepada kalian berdua.”
Maka, beliau mengembalikan urusan tersebut kepada dua orang tersebut yang sudah diberikan penjelasan tentang keadaan mereka berdua yang masih kuat dan mampu bekerja. Sehingga, dosanya menjadi tanggungan mereka berdua apabila keduanya tetap ingin mengambil harta zakat, padahal sudah dijelaskan bahwa mereka sebetulnya tidak berhak menerimanya.
Dari sini, ada dua pelajaran yang bisa kita ambil, yaitu:
Pelajaran pertama, bahwa seseorang yang memberi zakat (muzakki) handaklah mengecek dan meneliti keadaan orang yang meminta pembagian harta zakat. Hendaklah dicek, apakah mereka memang betul termasuk orang yang berhak menerima zakat?
Pelajaran kedua, ketika seseorang mengaku dan mengklaim tentang kondisi atau keadaan dirinya, misalnya dia mengatakan bahwa dia sedang kesulitan dan butuh harta zakat, hendaklah klaim tersebut diterima. Jika ada orang yang bersikeras meminta zakat dan mengklaim bahwa dia berhak menerima zakat, dan kita tidak mengetahui benar atau tidaknya klaim tersebut, maka kita tetap memberikan zakat kepadanya. Namun, apabila kita mengetahui dan yakin bahwa dia berdusta, maka kita pun tidak memberikan zakat kepadanya.
Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Hukum Membayar Zakat dari Harta Piutang
***
@Kantor YPIA Pogung, 12 Rabi’ul akhir 1445/ 27 Oktober 2023
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 497-499).
Artikel asli: https://muslim.or.id/89081-hukum-memberikan-zakat-kepada-orang-kaya.html